FILSAFAT SOKRATES (masa peralihan dari filsafat alam ke filsafat manusia)

KAUM SOFIS DAN SOKRATES

Dalam makalah ini kita akan mempelajari perkembangan filsafat yunai dalam paruh abad ke-5 SM. Zaman ini meliputi baik aliran yang di sebut Sofistik maupun filsafat Sokrates. Kita akan melihat bahwa sokrates tidak begitu bersahabat dengan kaum sofis. Filsafat sokrates sebagian dapat dimengerti sebagai reaksi serta kritik atas pendapat-pendapat kaum sofis. Namun demikian, ada alasan juga untuk membicarakan mereka berdua dalam makalah yang sama. Bukan saja mereka hidup dalam zaman yang sama, melainkan juga mereka membarui filsafat dengan cara yang sama. Filsuf dan sastrawan Roma yang bernama Cicero akan mengatakan bahwa Sokrates telah memindahkan filsafat dari langit ke atas bumi. Maksudnya bahwa filsafat prascoratik, telah memandang alam semesta dengan rupa-rupa cara, sedangkan Socrates mencari objek penyelidikannya dibumi ini, yakni manusia. Tetapi hal yang sama dapat dikatakan juga tentang kaum sofis. Mereka pun memusatkan perhatiannya pada manusia. Ketika kita mempelajari filsafat prasokratik, sudah beberapa kali kita bertemu dengan persoalan-persoalan yang menyangkut manusia, tetapi hanya sepintas lalu. Dalam zaman ini manusia menjadi objek pertama dan utama untuk penyelidikan filsafat.

  1. A.    Kaum Sofis

 

Nama “Sofis” (sophistes) tidak dipergunakan sebelum abad ke-5. Arti yang tertua adalah “seorang yang bijaksana” atau “seorang yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu”. Agak cepat kata ini dipakai dalam arti “sarjana” atau “cendekiawan”. Herodotos memakai nama sophistes untuk Pythagoras. Pengarang Yunani yang bernama Androtion (abad ke-4 SM) mempergunakan nama ini untuk menunjukkan “ketujuh orang bijaksana” dari abad ke-6 dan Sokrates. Lysias, ahli pidato Yunani yang hidup sekitar permulaan abad ke-4 memakai nama ini untuk Plato. Tetapi dalam abad ke-4 nama philosophos menjadi nama yang biasanya dipakai dalam arti “sarjana” atau “cendikiawan”, sedangkan nama sophistes khusus dipakai untuk guru-guru yang berkeliling dari kotake kota dan memainkan peranan penting dalam masyarakat Yunani sekitar paruh kedua abad ke-5. Di sini kita juga mempergunakan kata “Sofis” dalam arti terakhir ini.

Pada kemudian hari nama “Sofis” tentu tidak harum. Akibatnya masih terlihat dalam bahasa-bahasa modern. Dalam bahasa Inggris misalnya kata “sophist” menunjukkan seseorang yang menipu orang lain dengan mempergunakan argumentasi-argumentasi yang tidak sah. Cara berargumentasi yang dibuat dengan maksud itu dalam bahasa Inggris disebut “sophism” atau “sophistery”. Terutama Sokrates, Plato, dan Aristoteles dengan kritiknya pada kaum Sofis menyebabkan nama “Sofis” berbau jelek. Salah satu tuduhan adalah bahwapara Sofis meminta uang untuk pengajaran yang mereka berikan. Dalam dialog Protagoras, Plato mengatakan bahwa para Sofis merupakan “pemilik warung yang menjual barang rohani” (313 c). Dan Aristoteles mengarang buku yang berjudul Sophistikoi elenchoi (cara-cara berargumentasi kaum Sofis); maksudnya, cara berargumentasi yang tidak sah. Demikian para Sofis memperoleh nama jelek, hal mana masih dapat dirasakan sampai pada hari ini, sebagaimana nyata dengan contoh-contoh dari bahasa Inggris tadi.[1]

 

  1. Faktor-faktor yang menjelaskan munculnya Sofistik

 

Aliran yang disebut Sofistik tidak merupakan suatu mazhab, para sofis tidak mempunyai ajaran bersama. Sebaliknya Sofistik dipandang sebagai suatu aliran atau pergerakan dalam bidang intelektual yang disebabkan beberapa faktor yang timbul dalam masyarakat Yunani pada zaman itu. Berikut faktor-faktor yang menjelaskan munculnya Sofistik:

  1. Sesudah perang Parsi selesai (tahun 449 SM), Athena berkembang pesat dalam bidang politik dan ekonomi. Di bawah pimpinan Perikles polis inilah yang menjadi pusat seluruh dunia Yunani. Sampai saat itu Athena belum mengambil bagian dalam filsafat dan ilmu pengetahuan yang sedang berkembang sejak abad ke-6. Tetapi sering kali dalam sejarah dapat disaksikan bahwa negara atau kota yang mengalami zaman keemasan dalam bidang politik dan ekonomi menjadi pusat pula dalam bidang intelektual dan kultural. Demikian halnya juga dengan kota Athena. Kita sudah melihat bahwa Anaxagoras adalah figur pertama yang memilih Athena sebagai tempat tinggalnya. Para Sofis tidak membatasi aktivitasnya pada polis Athena saja. Mereka adalah guru-guru yang bepergian keliling dari satu kota ke kota lain. Tetapi Athena sebagai pusat kultural yang baru mempunyai daya tarik khusus untuk kaum Sofis. Protagoras misalnya, yang dari sudut filsafat boleh dianggap sebagai tokoh yang utama antara para Sofis, sering-sering mengunjungi Athena.
  2. Faktor lain yang dapat membantu untuk memahami timbulnya gerakan Sofistik adalah kebutuhan akan pendidikan yang dirasakan di seluruh Hellas pada waktu itu. Sudah kami utarakan bahwa bahasa merupakan alat politik yang terpenting dalam masyarakat Yunani. Sukses tidaknya dalam bidang politik sebagian besar tergantung pada kemahiran berbahasa yang diperlihatkan dalam sidang umum, dewan harian atau sidang pengadilan. Itu teristimewa benar dalam masa yang dibahas di sini, karena hidup politik sangat diutamakan. Khususnya di Athena, yang sekarang mengalami puncaknya sebagai polis yang tersusun dengan cara demokratis. Itulah sebabnya tidak mengherankan bahwa orang muda merasakan kebutuhan akan pendidikan serta pembinaan, supaya nanti mereka dapat memainkan peranannya dalam hidup politik. Sampai saat itu pendidikan di Athena tidak melebihi pendidikan elementer saja. Kaum Sofis memenuhi kebutuhan akan pendidikan lebih lanjut. Mereka mengajarkan ilmu-ilmu seperti metematika, astronomi, dan terutama tata bahasa. Mengenai ilmu yang terakhir ini mereka boleh dipandang sebagai perintis. Dan tentu saja, kaum Sofis juga mempunyai jasa-jasa besar dalam mengembangkan ilmu retorika atau berpidato. Selain dari pelajaran dan latihan untuk orang muda, mereka juga memberi ceramah-ceramah dengan cara populer untuk khalayak ramai yang lebih luas.

 

Dari uraian di atas ini boleh ditarik kesimpulan bahwa kaum Sofis untuk pertama kali dalam sejarah menggelar pendidikan untuk orang muda. Dari sebab itu paideia (kata Yunani untuk “pendidikan”) dapat dianggap sebagai suatu penemuan Yunani. Itulah salah satu jasa yang besar sekali, yang pengaruhnya masih berlangsung terus sampai dalam kebudayaan modern.

  1. Faktor ketiga yang mempengaruhi timbulnya aliran Sofistik boleh dilukiskan sebagai berikut. Karena pergaulan dengan banyak negara asing, orang Yunani mulai menginsyafi bahwa kebudayaan mereka berlainan dari kebudayaan-kebudayaan lain. Kebudayaan Yunani terletak di tengah kebudayaan-kebudayaan yang coraknya sangat berlainan. Dapat terjadi bahwa apa yang dengan tegas ditolak dalam kebudayaan yang satu, sangat dihargai dalam kebudayaan yang lain. Sejarawan Yunani Herodotos yang hidup pada zaman ini dan banyak bepergian ke negeri-negeri lain, telah menuliskan pengalaman itu dengan cukup jelas, dan ia menyetujui pendirian penyair Pindaros bahwa adat-istiadat adalah segala-galanya. Pengalaman itu menampilkan banyak pertanyaan. Apakah peraturan-peraturan etis, lembaga-lembaga sosial dan tradisi-tradisi religius hanya merupakan suatu kebiasaan atau konvensi saja? Apakah kesemuanya itu hanya kebetulan tersusun begitu? Apakah mungkin suatu susunan yang sama sekali berlainan? Para Sofis akan merumuskan persoalan ini dengan bertanya: apakah peraturan etis beralaskan adat kebiasaan (nomos) atau beralaskan kodrat (physis)? Pada umumnya para Sofis akan menjawab bahwa hidup sosial tidak mempunyai dasar kodrati. Sampai-sampai Protagoras tidak ragu-ragu mengatakan bahwa manusia adalah ukuran untuk segala sesuatu. Dengan demikian kaum Sofis jatuh dalam relativisme di bidang tingkah laku etis dan di bidang pengenalan. Dengan relativisme dimaksudkan pendirian bahwa baik buruk dan benar salah itu bersifat relatif saja. Atau dengan kata lain, baik buruk dan benar salah tergantung pada manusia bersangkutan. Sokrates dan Plato dengan tajam sekali akan mengkritik pendirian itu. Tetapi dapat dibayangkan bahwa kaum Sofis mengalami sukses besar dengan anggapannya yang menentang tradisi-tradisi tua, terutama dalam kalangan kaum muda. Dalam hal ini angkatan muda Yunani tidak berbeda banyak dengan angkatan muda pada zaman lain, karena mereka selalu cenderung membuang yang kolot dan memihak kepada yang serba baru.[2]

 

 

  1. 2.      Pengaruh aliran Sofistik

 

Dalam uraian-uraian sejarah filsafat, kaum Sofis tidak selalu dipandang dengan cara yang sama. Kadang-kadang dikemukakan pertimbangan yang agak negatif. Tetapi dalam uraian-uraian lain kaum Sofis direhabilitasikan lagi dengan penilaian yang lebih positif. Pada aliran Sofistik sendiri terdapat dua aspek yang menampilkan penilaian yang berbeda-beda itu.

Di satu pihak gerakan para Sofis menyatakan krisis yang tampak dalam pemikiran Yunani. Rupanya pada waktu itu orang merasa jemu dengan sekian banyak pendirian yang telah dikemukakan dalam filsafat prasokratik. Reaksinya adalah skeptisisme yang dianut oleh para Sofis. Kebenaran diragukan dan dasar ilmu pengetahuan sendiri digoncangkan (Protagoras, Gorgias). Dengan itu, Sofistik pasti mempunyai pengaruh negatif atas kebudayaan Yunani waktu itu. Banyak nilai tradisional dalam bidang agama dan moralitas mulai roboh. Peranan polis sebagai kesatuan sosial-politik mulai merosot, karena kaum Sofis memajukan suatu orientasi pan-Hellen. Tekanan pada ilmu berpidato dan kemahiran berbahasa menampilan bahaya bahwa teknik berpidato akan dipergunakan untuk maksud-maksud jahat. Kalau prinsip Protagoras, yakni “membuat argumen yang paling lemah menjadi yang paling kuat”, dikaitkan dengan relativisme dalam bidang moral, maka dengan sendirinya jalan terbuka untuk penyalahgunaan itu. Sofis-sofis yang besar seperti Protagoras dan Gorgias tidak menyalahgunakan ilmu berpidato untuk maksud-maksud jahat. Mereka adalah orang yang dihoramati oleh umum karena moralitas yang bermutu tinggi. Hal yang sama tidak bisa dikatakan mengenai semua Sofis lain.

Akan tetapi, di lain pihak aliran Sofistik pasti juga mempunyai pengaruh yang positif atas kebudayaan Yunani. Bahkan boleh dikatakan bahwa para Sofis mengakibatkan suatu revolusi intelektual di Yunani. Gorgias dan Sofis-sofis lain menciptakan gaya bahasa yang baru untuk prosa Yunani. Sejarawan-sejarawan Yunani yang besar, seperti Herodotos dan Thukydides, dipengaruhi secara mendalam oleh pemikiran Sofistik. Pandangan hidup kaum Sofis bergema juga pada dramawan-dramawan yang tersohor seperti Sophokles dan terutama Euripides. Dan kami sudah menyebut sebagai jasa-jasa Sofistik bahwa mereka mengambil manusia sebagai objek bagi pemikiran filsafat dan bahwa mereka meletekkan fundamen untuk pendidikan sitematis bagi kaum muda. Tetapi jasa mereka yang terbesar ialah bahwa mereka mempersiapkan kelahiran filsafat baru. Sokrates, Plato dan Aristoteles akan merealisasikan filsafat baru itu.[3]

  1. B.   Sokrates

 

  1. 1.       Riwayat Hidup Socrates (470-399 SM)

Socrates  adalah filsuf dari Athena, Yunani dan merupakan salah satu figur paling penting dalam tradisi filosofis Barat. Socrates lahir di Athena, dan merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar dari Yunani, yaitu Socrates, plato dan aristoteles.

Socrates adalah yang mengajar Plato, dan Plato pada gilirannya juga mengajar Aristoteles. Socrates diperkirakan lahir dari ayah yang berprofesi sebagai seorang pemahat patung dari batu (stone mason) bernama Sophroniskos. Ibunya bernama Phainarete berprofesi sebagai seorang bidan, dari sinilah Socrates menamakan metodenya berfilsafat dengan metode kebidanan nantinya. Socrates beristri seorang perempuan bernama Xantippe dan dikaruniai tiga orang anak.

Secara historis, filsafat Socrates mengandung pertanyaan karena Socrates sediri tidak pernah diketahui menuliskan buah pikirannya. Apa yang dikenal sebagai pemikiran Socrates pada dasarnya adalah berasal dari catatan oleh Plato, Xenophone (430-357) SM, dan siswa-siswa lainnya. Yang paling terkenal diantaranya adalah Socrates dalam dialog Plato dimana Plato selalu menggunakan nama gurunya itu sebagai tokoh utama karyanya sehingga sangat sulit memisahkan mana gagasan Socrates yang sesungguhnya dan mana gagasan Plato yang disampaikan melalui mulut Sorates. Nama Plato sendiri hanya muncul tiga kali dalam karya-karyanya sendiri yaitu dua kali dalam Apologi dan sekali dalam Phaedrus.

Socrates dikenal sebagai seorang yang tidak tampan, berpakaian sederhana, tanpa alas kaki dan berkelilingi mendatangi masyarakat Athena berdiskusi soal filsafat. Dia melakukan ini pada awalnya didasari satu motif religius untuk membenarkan suara gaib yang didengar seorang kawannya dari Oracle Delphi yang mengatakan bahwa tidak ada orang yang lebih bijak dari Socrates. Merasa diri tidak bijak dia berkeliling membuktikan kekeliruan suara tersebut, dia datangi satu demi satu orang-orang yang dianggap bijak oleh masyarakat pada saat itu dan dia ajak diskusi tentang berbagai masalah kebijaksanaan. Metode berfilsafatnya inilah yang dia sebut sebagai metode kebidanan. Dia memakai analogi seorang bidan yang membantu kelahiran seorang bayi dengan caranya berfilsafat yang membantu lahirnya pengetahuan melalui diskusi panjang dan mendalam. Dia selalu mengejar definisi absolut tentang satu masalah kepada orang-orang yang dianggapnya bijak tersebut meskipun kerap kali orang yang diberi pertanyaan gagal melahirkan definisi tersebut. Pada akhirnya Socrates membenarkan suara gaib tersebut berdasar satu pengertian bahwa dirinya adalah yang paling bijak karena dirinya tahu bahwa dia tidak bijaksana sedangkan mereka yang merasa bijak pada dasarnya adalah tidak bijak karena mereka tidak tahu kalau mereka tidak bijaksana.

Cara berfilsatnya inilah yang memunculkan rasa sakit hati terhadap Sokrates karena setelah penyelidikan itu maka akan tampak bahwa mereka yang dianggap bijak oleh masyarakat ternyata tidak mengetahui apa yang sesungguhnya mereka duga mereka ketahui. Rasa sakit hati inilah yang nantinya akan berujung pada kematian Sokrates melalui peradilan dengan tuduhan resmi merusak generasi muda, sebuah tuduhan yang sebenarnya dengan gampang dipatahkan melalui pembelaannya sebagaimana tertulis dalam Apologi karya Plato. Socrates pada akhirnya wafat pada usia tujuh puluh tahun dengan cara meminum racun sebagaimana keputusan yang diterimanya dari pengadilan dengan hasil voting 280 mendukung hukuman mati dan 220 menolaknya.

Socrates sebenarnya dapat lari dari penjara, sebagaimana ditulis oleh Krito, dengan bantuan para sahabatnya namun dia menolak atas dasar kepatuhannya pada satu “kontrak” yang telah dia jalani dengan hukum di kota Athena. Keberaniannya dalam menghadapi maut digambarkan dengan indah dalam Phaedo karya Plato. Kematian Socrates dalam ketidakadilan peradilan menjadi salah satu peristiwa peradilan paling bersejarah dalam masyarakat Barat di samping peradilan Yesus Kristus.

 

  1. 2.       Ajaran Socrates

Socrates memilih manusia sebagai objek penyelidikannya dan ia memandang manusia lebih kurang dari segi yang sama seperti mereka yaitu sebagai makhluk yang mengenal, yang harus mengatur tingkah lakunya sendiri dan yang hidup ke dalam masyarakat. Sebagaimana juga para sofis, socrates pun mulai filsafatnya dengan bertitik tolak dari pengalaman sehari-hari dan dari kehidupan yang konkrit. Tetapi ada suatu perbedaan yang penting sekali antara sokrates dan para kaum sofis, yaitu sokrates tidak menyetujui relativisme yang terdapat pada kaum sofis, menurut sokrates ada kebenaran obyektif, yang tidak bergantung pada saya dan kita.

  1. a.      Metode

Metode yang dipakai socrates untuk menghadapi keahlian silat lidah kaum sofis itu dikenal sebagai metode Dialektik – kritis. Proses dialektik di sini mengandung arti “dialog antara dua pendirian yang bertentangan ataupun merupakan perkembangan pemikiran dengan memakai pertemuan antar ide”. Sedangkan sikap kritis itu berarti socrates tidak mau menerima begitu saja sesutau pengertian sebelum dilakukan pengujian untuk membuktikan benar atu salahnya. Oleh karena itu dalam melaksanakan metode dialektik – kritis ini, socrates selalu meminta penjelasan tentang sesuatu pengertian dari orang yang dianggapnya ahli dalam bidang tersebut. Kemudian socrates mengajukan pertanyaan mengenai dasar – dasar pemikran para ahli itu. Jadi socrates  menuntut kemampuan para ahli untuk mempertanggung jawabkan pengetahuannya dengan alasan yang benar. Metode ini yang digunakan socrates untuk menemukan kebenaran yang obyektif.

Dalam metode dialektiknya ia menemukan dua penemuan metode yang lain, yakni induksi dan definisi. Istilah induksi mana kala pemikiran bertolak dari pengetahuan yang khusus, lau menyimpulkannya dengan pengertian yang umum. Pengertian umum diperoleh dari mengambil sifat-sifat yang sama( umum) dari masing-masing kasus khusus. Ciri umum tersebut dinamakan ciri esensi dan ciri khusus itu dinamakan ciri eksistensi. Suatu definisi dibuat dengan menyebutkan semua ciri esensi suatu objek dengan menyisihkan semua ciri eksistensinya.[4]

  1. b.      Etika

Faham etika socrates merupakan kelanjutan dari metode yang ia temukan (definisi dan induksi). Socrates mencurahkan perhatiannya pada cabang filsafat yang disebut”Etika”. Dalam apologia, socrates menerangkan kepada hakim – hakimnya, bahwa ia menganggap sebagai tugasnya mengingatkan para warga negara athena supaya mereka mengutamakan jiwa mereka dan bukan kesehatan, kekayaan, kehormatan atau hal – hal sedemikian yang tidak sebanding dengan jiwa. Menurut socrates, tujuan tertinggi kehidupan manusia ialah membuat jiwanya menjadi sebaik mungkin.

 

 

Daftar Pustaka

K.Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Jogjakarta: Kanisius,

1999

Hadiwijoyo, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Jogjakarta: Kanisius,

1980

http://id.wikipedia.org/wiki/Sofis


[1] Prof.Dr.K.Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Jogjakarta: Kanisius, 1999, h.83-84

 

[2] Ibid., h.84-86

[3] Ibid., h.92-93

[4] Ahmad syadali dan Mudzakir, 2004 : 66-67.

 

  1. A.    Pendahuluan

 

Ritual adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan terutama untuk tujuan simbolis[1]. Ritual dilaksanakan berdasarkan suatu agama atau bisa juga berdasarkan tradisi dari suatu komunitas tertentu. Kegiatan-kegiatan dalam ritual biasanya sudah diatur dan ditentukan, dan tidak dapat dilaksanakan secara sembarangan. Di agama Kristen ada beberapa ritual yang biasa dilakukan berikut adalah ritual-ritual dalam agama Kristen.

  1. B.     Kebaktian malam Paskah

Kebaktian Malam Paskah adalah kebaktian yang diadakan di kebanyakan gereja Kristen sebagai perayaan resmi pertama untuk merayakan kebangkitan Yesus. Pada masa lalu, di kebaktian inilah anak-anak menerima baptisan dan orang-orang dewasa menjalankan katekumen. Kebaktian ini dapat diadakan pada waktu setelah matahari tenggelam pada Sabtu Suci hingga matahari terbit pada Minggu Paskah, namun umumnya diadakan pada Sabtu sore.

Di Gereja Katolik Roma, Gereja Anglikan, dan gereja-gereja Ortodoks, kebaktian ini merupakan kebaktian yang terpenting di dalam kalender liturgi gereja dan juga merupakan sakramen Perjamuan Kudus yang pertama selama masa Paskah, yang ditandai dengan penyanyian Alleluia, yang merupakan kekhasan liturgi gereja selama masa Paskah[2].

  1. C.    Kebaktian subuh

Kebaktian subuh adalah kebaktian yang dilakukan pada Paskah. Kebaktian ini dipraktikkan oleh gereja Protestan dan sama seperti kebaktian malam Paskah yang dijalankan pengikut Katolik Roma, Ortodoks Timur, Anglikan, dan Lutheran. Kebaktian ini dilakukan di luar ruangan, biasanya di taman, dan jemaat duduk di kursi umum.

  1. D.    Magnificat

Magnificat (juga disebut Nyanyian pujian Maria) adalah sebuah kidung yang sering dinyanyikan (atau didaraskan) secara liturgis dalam ibadat-ibadat Kristiani. Kidung ini diambil dari Injil Lukas pasal 1 ayat 46-55, yang tersisip di tengah naskah prosa[3].

Menurut Injil, setelah peristiwa anunsiasi (pewartaan malaikat) di mana Maria diberitahu oleh Malaikat Gabriel bahwa dia akan mengandung Yesus, Maria meresponnya dengan visitasi (kunjungan kepada saudari sepupunya Elizabet). Dalam narasi Injil, sesudah menyalami Elizabet, anak dalam kandungan Elizabet (yang kelak menjadi Yohanes Pembaptis) bergerak, dan ketika hal tersebut diberitahukan kepada Maria, dia menyanyikan Kidung Magnificat sebagai balasannya (para sarjana Alkitab, dan manuskrip-manuskrip kuno, berbeda pendapat mengenai apakah Maria atau Elizabet yang menyanyikannya, dalam Alkitab Terjemahan Baru dari Lembaga Alkitab Indonesia disebutkan bahwa Marialah yang menyanyikannya).Menurut beberapa sarjana naskah Alkitab, naskah Magnificat dianggap merupakan sebuah versi ringkas dari nyanyian pujian Hana dalam Kitab 1 Samuel.

  1. E.     Perminyakan (agama)

Meminyaki adalah sebuah ritual dalam berbagai agama dan bangsa dengan mengoleskan minyak yang harum, lemak binatang, ataupun mentega cair.

Upacara ini dilakukan untuk melambangkan pemberian pengaruh ilahi atau sakramental, suatu pancaran kekuatan atau roh yang suci. Hal ini juga dapat dilihat sebagai upacara magis untuk mengusir pengaruh-pengaruh berbahaya dan penyakit dari diri seseorang ataupun benda-benda, khususnya dari roh-roh jahat (drug, dev) yang diyakini sebagai sumber atau penyebab penyakit atau gangguan tersebut[4].

  1. F.     Persembahan hewan

Persembahan hewan adalah bagian dari ritual keagamaan yang bertujuan untuk menyenangkan Tuhan atau dewa-dewa dengan harapan bahwa mereka akan mengganti keadaan alam sesuai dengan keinginan penyembahnya. Persembahan hewan banyak ditemui pada hampir semua kebudayaan, dari kebudayaan Yahudi, Yunani, Roma dan Yoruba. Di Indonesia dalam Islam persembahan hewan disebut kurban. Di Bali persembahan hewan juga dilakukan pada acara-acara adat untuk melakukan penyucian. Hewan yang digunakan untuk upacara persembahan di Bali adalah ayam, sapi, bebek dan babi.

  1. G.    Sursum corda

Sursum Corda (dalam Bahasa Latin artinya “Arahkan hatimu kepada Tuhan”) adalah dialog pembuka pada Pembukaan Ibadat Ekaristi atau Anaphora dalam liturgi-liturgi gereja-gereja Kristen. Dialog ini bisa ditelusuri dari abad ke-3 dari adanya Anaphora karya Hippolytus. Dialog ini tercatat dalam liturgi-liturgi gereja Kristen pertama, dan ditemukan hampir di seluruh ritus-ritus Kristen lama[5].

Gereja-gereja Katolik Roma, Anglikan, Lutheran, Methodist Bersatu, dan denominasi lainnya menggunakan Sursum Corda dalam perayaan Ekaristi mereka. Sursum Corda juga ditemukan di dalam exultet atau himne pujian pada saat Malam Paskah dimana dialog ini dipimpin bukan oleh kepala selebran, tapi oleh diakon.

  1. H.    Kesimpulan

Dari pemaparan di atas pemakalah menyimpulkan bahwa, ritual-ritual yang dilakukan agama kristan ada enam macam yang masing- masing mempunyai tujuan dan manfaatnya sendiri.

  1. I.       Daftar Pustaka

Dr. A. G. Honig jr,” Ilmu Agama”, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta cet-4 1988

Hakim, Agus. 2006. Perbandingan Agama. Bandung: Diponegoro.

Ridwan, Zaynur. 2010. The Greatest Design. Jakarta: Salsabila Kautsar Utama.

http://id.wikipedia.org/wiki/Kategori:Ritual_Kristen

 


  [1] . Dr. A. G. Honig jr,” Ilmu Agama”, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta cet-4 1988, Hal, 157

  [2] . ibid Hal, 159

 [4] . Hakim, Agus. 2006. Perbandingan Agama. Bandung: Diponegoro. Hal, 98

 [5] . Ridwan, Zaynur. 2010. The Greatest Design. Jakarta: Salsabila Kautsar Utama. Hal, 36

  1. A.    PENDAHULUAN

Hadits merupakan salah satu sumber pengetahuan Islam. Hadits (الحديث) secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam perkataan dimaksud adalah perkataan dari Nabi Muhammad SAW. Namun sering kali kata ini mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah sehingga berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum dibawah Al Qur’an[1] . Karena banyaknya hadits yang tersebar dan kekhawatiran para ulama Islam akan dilupakannya haditshadits tersebut maka mereka membukukan hadits-hadits tersebut. Beberapa para ulama itu adalah: Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad, Imam Al-Turmudzi Buku yang mereka tulispun sudah sangat popular di kalangan masyarakat diantaranya adalah: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Al-Turmudzi dll. Buku-buku inilah yang menyebabkan sampai saat ini hadits-hadits nabi sampai pada kita. Penyebaran hadits pun semakin dipermudah karena adanya internet yang menyebabkan pengguna internet lebih mudah mencari hadits yang mereka inginkan.

  1. B.   Pembagian hadits berdasarkan tingkatannya

Secara garis besar tingkatan hadits dibagi dua yaitu: shahih dan dha’if. Namun, tingkatan yang sudah banyak dikenal di dalam masyarakat kita selain dua tingkatan tersebut adalah hasan[2] dan maudhu’[3]. Shohih ( الصحيح ), yaitu hadits yang telah dapat dibuktikan secara sah kebenarannya berasal dari Nabi saw. [4], Hasan ( الحسن ), yaitu hadits yang kurang pantas dinilai shahih, tetapi tidak layak juga bila dinilai dha’if[5], Dha’if ( الضعيف ), yaitu hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih atau hasan[6], Hadits maudhu’ adalah hadits yang dikemukakan oleh periwayat yang dusta dan bohong atas nama Nabi saw. secara sengaja. Ada beberapa persyaratan untuk sebuah hadits untuk mencapai tingkatan shahih, diantaranya, Yang ‘adl (orang tersebut haruslah muslim, yang berakal, baligh dll), Yang kuat, yang cermat yaitu, orang yang kuat/cermat tentang apa yang ia riwayatkan, dan hafal didalam hadits yang dapat ia keluarkan kapan saja diperlukan dengan betul, serta ia seorang yang ‘alim (mengetahui) tentang apa yang ia riwayatkan, Yang bersambung yaitu, sanadnya tidak terputus dari awal sampai akhir, tidak ada yang menyalahi aturan dalam penyampaian dan tidak ada cacat atau kekurangan di dalam hadits tersebut. Oleh karena itu hadits shahih dan hasan dapat dijadikan sebagai dalil dalam sebuah perkara agama. Namun, untuk hadits dha’if dan maudhu’ itu tidak boleh dijadikan dalil ( kecuali untuk hadits dhai’f yang tidak berstatus dha’if berat, menurut beberapa ulama maka boleh dijadikan sebagai nasihat ) dan ini yang menyebabkan kesalah pahaman banyak orang memahami perkara agama.

Banyak perkara bid’ah[7] menyebar di sekitar kita adalah salah satu akibat banyaknya hadits dha’if dan maudhu’ yang digunakan sebagai dalil. Belum lagi banyaknya aliran-aliran  pemahaman agama Islam saat ini yang menambah buruk citra agama Islam itu sendiri. Salah satu contoh hadits dha’if dan maudhu’ yaitu, “Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”[8] atau “”Sesungguhnya pada (segala) sesuatu terdapat hati dan hati Al-Qur’an adalah surat Yasin, dan barangsiapa yang membacanya maka Allah mencatat untuknya ganjaran membaca Al-Qur’an sepuluh kali”[9] dan masih banyak lagi hadits-hadits serupa yang telah menyebar di sekitar kita.

 

  1. C.   Pengertian hadits shahih, hasan, dha’if dan maudhu’

Al-Hadits (bahasa arab: الحديث) secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam perkataan dimaksud adalah perkataan dari Nabi Muhammad SAW. Namun sering kali kata ini mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah sehingga berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan, persetujuan maupun sifat-sifat dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum dibawah Al Q ur’an.

Sebelum kita membahas mengenai tingkatan-tingkatan dari hadits itu sendiri, kita harus mengetahui istilah-istilah yang ada di dalam hadits itu sendiri. Sedikitnya ada 3 istilah, yaitu sanad, rawi dan matan. Secara singkat pengertian sanad dalam ilmu hadits adalah menerangkan jalan yang menuju kepada matan atau jalan yang menyampaikan kita kepada matan. rawi adalah setiap orang yang menceritakan hadits. Sedangkan pengertian matan itu sendiri adalah materi atau redaksi hadits yang diriwayatkan. Sebagai contoh:

Telah bercerita kepadaku Zuhair ibn Harb, katanya, bercerita Sufyan dari al-Zanad dari al-A’raj dari Abu Hurairah, dari Nabi saw., beliau berkata “Sekiranya tidak memberatkan kepada ummatku, niscaya mereka saya perintahkan bersiwak setiap hendak salat.” (HR. Imam Muslim)

Dari hadits di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa, “Sekiranya tidak memberatkan kepada ummatku, niscaya mereka saya perintahkan bersiwak setiap hendak salat.” dapat dikatakan sebagai matan. Nama-nama dari Zuhair ibn Harb sampai Abu Hurairah juga Imam Muslim dapat dikatakan sebagai rawi, sebab mereka adalah orang-orang yang menceritakan hadits. Adapun urutan dari  Zuhair ibn Harb, katanya, bercerita Sufyan dari al-Zanad dari al-A’raj dari Abu Hurairah adalah sanad hadits, sebab mereka adalah orang-orang yang dilalui hadits atau matan dari sumber pertama (Nabi) sampai dengan penerima terakhir, Imam Muslim.

3 Hal itulah salah satu penyebab hadits memliki tingkatan-tingkatan yaitu, shahih, hasan, dha’if dan maudhu’. Adapun pengertiannya:

Shahih ( الصحيح ), yaitu hadits yang telah dapat dibuktikan secara sah kebenarannya berasal dari Nabi saw. Hadits Shahih wajib diamalkan menurut kesepakatan (ijma’) ulama Hadits dan para ulama Ushul Fiqih serta Fuqaha yang memiliki kapabilitas untuk itu. Dengan demikian, ia dapat dijadikan hujjah syari’at (dapat juga disebut dalil) yang tidak boleh diberikan kesempatan bagi seorang Muslim untuk tidak mengamalkannya[10]. Kitab yang memuat hadits shahih ini diantaranya: Shahih Bukhari karya Imam Bukhari dan Shahih Muslim karya Imam Muslim.

Hasan ( الحسن ), yaitu hadits yang telah dapat dibuktikan berdasarkan sangkaan kuat terbebas dari kesalahan dalam riwayat. Istilah hadits hasan pertama kali dikemukakan oleh al-Tirmidzi pada abad ke 3-4 Hijriyah. Hadits hasan ini sebenarnya derajatnya hampir sama dengan hadits shahih, namun ada kekurangan di dalam periwayatnya yaitu kedhabithannya[11].

Dha’if ( الضعيف ), yaitu hadits yang diduga palsu atau diduga terjadi kesalahan dalam riwayat. Sudah tentu bahwa tingkatan hadits ini disebabkan adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi oleh suatu hadits untuk mencapai tingkatan shahih, bahkan ada beberapa syarat yang tidak dimiliki hadits tersebut. Ada beberapa pendapat dalam menyikapi hadits dha’if ini, ada yang mengatakan bahwa hadits dha’if tidak boleh diamalkan secara mutlak dan ada juga yang mengatakan hadits dha’if boleh diamalkan namun hanya sekedar nasehat dengan syarat hadits tersebut bukanlah yang tergolong dha’if berat, tidak bertentangan dengan dasar agama dan tidak boleh diimani bahwa hadits tersebut dari Nabi saw. tetapi hanya dalam rangka berhati-hati.

Hadits Maudhu’ adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW  baik segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan, persetujuan maupun sifat-sifat beliau secara dusta. Sudah tentu hadits ini tidak boleh dijadikan dalil karena hadits tersebut hanya kedustaan yang diatas namakan Nabi saw. Hal-hal yang menyebabkan suatu hadist mendapatkan tingkatannya.

Kita telah tahu pengertian hadits shahih, hasan, dha’if serta maudhu’. Lalu apa yang menyebabkan hadits-hadits tersebut mendapat tingkatan shahih ?, dhai’f ? dan sebagainya. Oleh karena itu kita harus tahu hal-hal yang menyebabkan itu semua.

  1. a.      Hadits Shahih

Shahih ( الصحيح ), yaitu hadits yang telah dapat dibuktikan secara sah kebenarannya berasal dari Nabi saw. Adapun beberapa syarat untuk suatu hadits mencapai tingkatan shahih ini sebagai berikut :

  1. Sanadnya bersambung semenjak dari Nabi, Sahabat, hingga periwayat terakhir.
  2. Periwayatnya orang yang memiliki sifat ‘adil dan dhabith.
    1. ‘adil artinya, periwayat setia mengamalkan agamanya sesuai dengan pengetahuanyang dimilikinya serta tidak pernah berbohong, apalagi pembohong.
    2. Dhabith artinya, periwayat memiliki hafalan yang kuat, periwayat tidak pelupa. Informasi haditsnya tidak syadz, maksudnya adalah informasi atau hadits yang dibawanya tidak boleh bertentangan dengan hadits yang dibawa oleh orang-orang yang lebih berkualitas atau dalil yang lebih kuat.
    3. Hadits yang diriwayatkan tidak boleh cacat, misalnya, mengatasnamakan hadits tersebut dari Nabi saw., padahal sebenarnya bukan dari Nabi saw.

 

  1. Hadits Hasan

Hasan ( الحسن ), yaitu hadits yang telah dapat dibuktikan berdasarkan sangkaan kuat terbebas dari kesalahan dalam riwayat. Hadits hasan ini sebenarnya derajatnya hampir sama dengan hadits shahih, namun ada kekurangan di dalam periwayatnya yaitu kedhabithannya.

Maksudnya, orang-orang yang meriwayatkan suatu hadits namun orang tersebut tidak dikenal mempunyai hafalan yang kuat atau cermat maka status hadits tersebut menjadi hasan. Tetapi, hadits hasan dapat naik derajat atau tingkatanya menjadi shahih karena hadits yang lain yang isinya sama yang diriwayatkan melalui jalur lain yang kualitasnya tidak lebih rendah.

  1. c.       Hadits Dha’if

Dha’if ( الضعيف ), yaitu hadits yang diduga palsu atau diduga terjadi kesalahan dalam riwayat. Jenis-jenis hadits dha’if :

Hadits dha’if yang disebabkan oleh keterputusan sanad.

Hadits dha’if yang disebabkan oleh cacat periwayatnya.

 

  1. Hadits Maudhu’

Hadits Maudhu’ adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW  baik perbuatan, perkataan, taqrir, dan sifat beliau secara dusta. Beberapa cara agar kita mengetahui bahwa suatu hadits berstatus maudhu’ adalah :

  1. Kepalsuan sanad:
    1. Periwayatnya dikenal pembohong, dapat terlihat dari biodatanya.
    2. Pemalsu hadits mengaku sendiri, seperti pengakuan Abdul Karim ibn al-Awja’ yang telah memalsukan tidak kurang 4000 hadits.
    3. Terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa seorang periwayat adalah pembohong. Misalnya, Ma’mun ibn Ahmad al-Halawi mengaku pernah memperoleh hadits dari Hisyam ibn ‘Ammar. Kemudian ditanya oleh Ibn Hibban, “kapan engkau bertemu dia di Siria?” Ia menjawab, “tahun dua ratus lima puluh.” Kemudian Ibn Hibban mengatakan, “Hisyam yang kau sebut itu meninggal pada tahun dua ratus empat puluh lima.”

 

  1. 2.      Kepalsuan matan :

 

  1. Jika seorang yang benar-benar memahami makna dalam ungkapan bahasa Arab berkesimpulan bahwa ada kata-kata atau kalimat yang tertera dalam suatu hadits tidak mungkin diucapkan oleh orang yang fasih, terlebih oleh Rasulullah saw.
  2. Jika hadits tersebut bertentangan dengan temuan rasional, tanpa ada kemungkinan takwil[12]

Contohnya : sebuah hadits “Sesungguhnya kapal Nabi Nuh itu melakukan thawaf di ka’bah tujuh kali dan shalat di Maqam Ibrahim dua raka’at”

  1. Jika hadits tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits mutawattir[13]

Contohnya : sebuah hadits “Usia dunia itu tujuh ribu tahun lagi”

Bertentangan dengan ayat Al-Qur’an bahwa Hari Qiyamah itu hanya Allah Swt. yang mengetahuinya.

al-A’raf : 187.  Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Bilakah terjadinya?” Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba”. mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui”.

  1. Jika hadits tersebut menggambarkan bahwa para Sahabat sepakat untuk menyembunyikan ajaran Nabi.
  2. Jika sebuah hadits bertentangan dengan bukti-bukti sejarah.

Contohnya : Sebuah hadits menyebutkan bahwa Nabi mewajibkan membayar Jizyah[14] atas penduduk khaibar dan membebaskan mereka dari usaha dengan persaksian Sa’ad ibn Mu’adz.

Ada 2 fakta yang salah dari hadits tersebut :

  1. Sa’ad ibn Mu’adz telah wafat sebelum peristiwa Khaibar, yaitu pada Perang Khandaq.
  2. Sejarah mencatat bahwa Jizyah itu disebutkan sesudah Perang Tabuk, sebuah kurun waktu setelah Peristiwa Khaibar.

 

  1. D.   Penutup

Begitu banyak hadits yang menyebar, namun banyak orang-orang disekitar kita yang belum memahami bahwa hadits-hadits tersebut sebatas perkataan Rasulullah saw. yang disebarkan oleh para sahabatnya serta orang-orang lain yang sewaktu-waktu dapat berubah bahkan dapat mungkin diada-adakan. Oleh karena itu, pengetahuan seputar tingkatan hadits itu penting agar yang menyampaikan maupun yang mendengar tidak keliru memahami Islam itu sendiri.

 

Daftar Pustaka

Al-Qur’an al-Karim.

Hakim, Abdul bin Amir Abdat. Al-Masaail jilid 3.

Thahan, Mahmud. Ilmu Hadits Praktis.

Zuhri, Muh. Hadis Nabi “Telaah Historis dan Metodologis”.


[2] Pedapat yang dikemukakan Imam al-Tirmidzi bahwa hadits dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu shahih, hasan dan dhai’f.

[3] Dapat dikatakan juga hadits palsu. Sebenarnya hadits ini termasuk juga di dalam jenis-jenis hadits dha’if.

[5] Prof. Dr. Muh. Zuhri, Hadis Nabi “Telaah Historis dan Metodologis”. h.57

[6] Abdul Hakim bin Amir Abdat, Al-Masaail jilid 3. h.36

[7] Perkara agama yang diada-adakan

[9] Seuntai Kabar Tentang Hadits Palsu dan Lemah diatas Mimbar Ibnu Zulkifli As-Samarindy

[11] Hafalan yang kuat atau tidak pelupa

                [12] Makna yang tersembunyi, takwil menurut para ulama sama artinya dengan tafsir

                [13] Hadits yang banyak disepakati oleh banyak orang yang mustahil sepakat untuk bohong dan dapat dipastikan berasal dari Rasulullah saw.

[14] pajak per kapita yang diberikan pada penduduk non-Muslim pada suatu negara